Monday, May 20, 2013

Dunia Butuh Revolusi



Artikel ini saya “temukan” berlabel “Kompas 29 Januari 2011” dengan judul PBB : Dunia Butuh Revolusi’. Terus terang, kata kata revolusi itulah yang menarik saya untuk kembali membacanya. Sudah cukup lama memang tulisan ini dimuat, tapi rasa penasaran saya mengalahkan itu semua. Barangkali kalau kita telaah saat ini, tidak akan mengurangi makna yang terkandung dibalik fakta-fakta yang cukup menarik tentang dunia yang sama-sama kita cintai ini.
Di awal tulisannya dinyatakan demikian, “Davos, jumat - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon mendesak para pemimpin negara dan korporasi dunia untuk benar-benar serius menemukan inovasi ekonomi demi menyelamatkan Planet Bumi. Menurut Ban, model ekonomi yang dijalankan saat ini sudah sangat usang, terbukti merusak lingkungan, dan dunia kehabisan waktu jika tidak segera melakukan sesuatu.”
Ada satu “kehawatiran” yang terungkap dari pernyataan Sekjend PBB saat itu, harus segera dilakukan sesuatu, katanya.
Berikutnya Ban menekankan, jika model ekonomi baru, yang berkelanjutan dan bisa ditopang planet ini, tak segera ditemukan, dunia sama saja sedang menyepakati ”pakta bunuh diri global”.
Panel diskusi itu diadakan pada Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF)  yang juga menampilkan panelis Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Meksiko Felipe Calderon, CEO jaringan supermarket Walmart Mike Duke, dan pendiri Microsoft Bill Gates
Jim Balsillie, salah satu CEO Research in Motion (produsen telepon pintar Blackberry), mengatakan, teknologi saja tak cukup untuk memecahkan masalah bagaimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi tanpa meningkatkan dampak terhadap lingkungan. ”Kita harus memikirkan kembali (model) ekonomi di tingkat paling dasar,” tutur Balsillie.
Presiden Yudhoyono mengatakan, Indonesia saat ini berusaha menanam satu miliar pohon per tahun untuk mempertahankan hujan hutan tropis demi membantu mengurangi dampak pemanasan global. Meski demikian, Presiden menolak gagasan bahwa negara-negara berkembang harus melepas cita-cita menjadi sama kaya dengan negara-negara maju demi menyelamatkan bumi.
Bill Gates mengamini pernyataan Yudhoyono ini dengan mengatakan, ”Dunia akan menjadi tempat yang tidak adil apabila kita menyuruh orang-orang (di negara berkembang), untuk menggunakan energi yang lebih sedikit daripada rata-rata warga Eropa.”
Dilema yang kemudian muncul adalah di satu fihak negara-negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang sedang tinggi-tingginya, seperti China dan India, menolak adanya perjanjian pengurangan emisi gas rumah kaca yang bersifat mengikat dan wajib.
Mereka beralasan, perjanjian seperti itu akan mengganggu pertumbuhan ekonomi mereka, yang masih dibutuhkan untuk membebaskan rakyat mereka dari kemiskinan.
AS, negara maju yang menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, memanfaatkan kesempatan itu dengan mengatakan, pihaknya baru akan mempertimbangkan perjanjian yang mengikat setelah China dan India melakukan hal yang sama.
Jadi perdebatan di forum dunia yang membahas nasib dunia kita bersama ini menjadi tak jelas ujung pangkalnya. Padahal forum ini diikuti tak kurang dari 2.500 tokoh politik dan bisnis dari seluruh dunia, termasuk para pemimpin negara dan bos-bos perusahaan dunia.
Sehingga banyak kalangan menilai pertemuan-pertemuan semacam ini hanya menghasilkan omong kosong belaka.
Lalu forum mana lagi yang bisa diharapkan menghasilkan satu solusi yang jitu untuk “menyelamatkan” planet bumi yang sama-sama kita cintai ini?
Sementara perbedaan pendapat terus menghantui forum-forum dunia seperti itu, perusakkan lingkungan terus berlanjut.
Jadi revolusi semacam apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelamatkan bumi kita ini? Dan siapa yang sanggup menjadi pemegang komandonya, jika itu kemudian akan dilaksanakan?
Di Forum itu, Perdana Menteri Inggris David Cameron menegaskan, kebijakan penghematan anggaran negara yang dilakukan di Inggris telah menunjukkan hasil positif, dan mengajak seluruh negara Eropa menuruti jejak Inggris untuk keluar dari krisis ekonomi.
Sebaliknya, Menteri Keuangan AS Timothy Geithner berpendapat, pemotongan anggaran negara yang tiba-tiba dan drastis adalah ”langkah tak bertanggung jawab”. ”Kami tak akan melakukan itu,” kata Geithner.
Jadi sampai dengan hari ini, Mei 2013, setelah dua tahun lebih diskusi itu berlalu, apa yang sudah dilakukan pemimpin-pemimpin dunia, tokoh-tokoh politik dan bisnis dunia untuk menyelamatkan dunia ini?

No comments:

Post a Comment